Jumat, 08 Oktober 2010

Teori Pergerakan Lempeng Tektonik Kian Terbukti 1

Teori Tektonika Lempeng adalah teori dalam bidang geologi yang dikembangkan untuk mem beri penjelasan terhadap adanya buktibukti pergerakan skala besar yang dilakukan oleh litosfer Bumi.
Teori ini menggantikan Teori Pergeseran Benua yang lebih dahulu dikemukakan pada paruh pertama abad ke-20. Bagian terluar dari interior Bumi terbentuk dari dua lapisan.

Di bagian atas terdapat litosfer yang terdiri atas kerak, dan bagian teratas adalah mantel Bumi yang kaku dan padat. Di bawah lapisan litosfer terdapat astenosfer yang berbentuk padat.
Lebih dalam lagi, bagian mantel di bawah astenosfer sifatnya lebih kaku lagi. Penyebabnya, bukanlah suhu yang lebih dingin, melainkan tekanan yang tinggi. Lapisan litosfer dibagi menjadi lempeng-lempeng tektonik.

Di Bumi terdapat tujuh lempeng utama dan lempeng-lempeng lebih kecil lainnya. Lempeng-lempeng litosfer ini menumpang di atas astenosfer. Mereka bergerak relatif, satu dengan yang lainnya di batas-batas lempeng, baik divergen (menjauh), konvergen (bertumbukan), ataupun transform (menyamping).
Gempa bumi, aktivitas vulkanik, pembentukan gunung, dan pembentukan palung samudra, umumnya terjadi di daerah sepanjang batas lempeng.

Evolusi Geologis

Teori Tektonik Lempeng berasal dari Hipotesis Pergeseran Benua.
Teori ini mengemukakan bahwa benua- benua yang sekarang ada dahulunya adalah satu bentang muka yang bergerak menjauh, sehing ga melepaskan benua-benua tersebut dari inti Bumi, seperti “bongkahan es” dari granit bermassa jenis rendah yang mengambang di atas lautan basal yang lebih padat.
Namun, tanpa adanya bukti terperinci dan perhitungan gaya-gaya yang dilibatkan teori ini dipinggirkan. Ini dikarenakan mungkin saja Bumi memiliki kerak yang padat dan inti yang cair, tetapi tidak mungkin bahwa bagian-bagian kerak tersebut dapat bergerak-gerak.
Di kemudian hari, dibuktikanlah teori yang dikemukakan geolog Inggris, Arthur Holmes, pada 1920, bahwa tautan bagian-bagian kerak ini kemungkinan ada di bawah laut.

Sementara itu, terobosan terbaru berhasil dilakukan oleh Dave Stegman, salah satu peneliti dari Institution of Oceanography, San Diego, Amerika Serikat. Teori baru itu memperluas teori lempeng tektonik yang telah ada selama ini.
Sebuah deskripsi secara kinematik menjelaskan gerak lempeng yang disertai dengan gerak dinamis memberikan penjelasan fisik mengenai gerakan lempeng tektonik, serta gerakan batas lempeng pada permukaan Bumi.

Temuan baru tersebut membuat para ilmuwan semakin memahami mengenai evolusi geologi Bumi, khususnya evolusi tektonik Amerika Utara bagian barat dalam 50 juta tahun terakhir.
Temuan ini juga memberikan penjelasan mengapa lempeng tektonik bergerak sepanjang permukaan bumi pada kecepatan yang telah diperkirakan, dengan perincian yang sebelumnya tidak diketahui secara mendalam.
“Permukaan Bumi ditutupi dengan lempeng tektonik yang berge rak satu sama lain bersentimeter- sentimeter panjangnya per tahun. Lempeng ini berkumpul di laut dalam, di mana batas lempeng berada di bawah yang lainnya. Ini disebut juga dengan zona subduksi.
Kecepatan lempeng Bumi dan kecepatan dari batas-batas antara lempeng sangat signifikan di bumi,” ungkap Schellart.

Teori Skala Tim yang terdiri dari Schellart, Stegman, Rebecca Farrington, Justin Freeman, dan Louis Moresi dari Monash University itu menggunakan data observasi dan model komputer canggih untuk mengembangkan teori skala baru matematika yang menunjukkan bahwa kecepatan pada pelat dan batas lempeng bergantung pada ukuran zona subduksi dan keberadaan tepi zona subduksi.
“Skala yang digunakan untuk melihat, bagaimana subduksi pelat tenggelam dalam mantel Bumi tersebut berdasarkan pada dinamika fluida yang sama. Teori ini dapat pula digambarkan melalui uang logam yang tenggelam dalam sebuah stoples berisikan madu,” papar Stegman.

Model komputer yang digunakan, tambahnya, menunjukkan bahwa porsi subduksi dari lempeng tektonik menarik bagian dari pelat yang tetap berada di permukaan Bumi.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa baik gerakan lempeng maupun batas lempeng dengan ukuran zona subdiksi masing- masing, mendeterminasikan pergerakan yang akan terjadi kemudian. “Dalam beberapa hal, lempeng tektonik merupakan sebuah ekspresi dinamis dari permukaan Bumi.

Namun, sekarang kami mulai memahami bahwa lempeng itu sendiri lebih berguna dalam mengontrol pergerakan Bumi dibandingkan mantel yang berada di dalamnya. Ini membuktikan bahwa bumi benar-benar lebih bersistem dari atas ke bawah, daripada gerakan lempeng yang didorong dari bawah ke atas,” tambahnya.
Penemuan ini semakin menjelaskan mengapa lempeng Australia, Nazca, dan Pasifik bergerak hingga empat kali lebih cepat dibandingkan dengan lempeng Afrika, Eurasia, dan Juan de Fuca yang lebih kecil.

“Hal ini juga memberikan penjelasan mengenai pergerakan dari Pelat Farallon kuno yang tenggelam ke dalam mantel di bawah Amerika Utara dan Selatan.
Pelat ini semakin melambat ketika bergerak dari timur pada 50 juta tahun yang lalu, yakni dengan pergerakan sepanjang 10 sentimeter per tahun. Namun pada saat ini hanya sekitar dua sentimeter per tahun,” ucap Schellart.
Penurunan kecepatan pelat tersebut merupakan hasil dari penurunan dalam ukuran zona subduksi, yang mengalami penurunan dari 14.000 kilometer menjadi hanya 1.400 kilometer.

“Bisa dikatakan ini memiliki efek dramatis pada topografi dan struktur benua Amerika Utara.
Sampai 50 juta tahun yang lalu, pantai barat Amerika Utara ditandai oleh sebuah rantai pegunungan besar mirip dengan Andes pada saat ini, yang ada di Amerika Selatan,” kata Schellart.
Ketika ukuran zona subduksi menurun, tekanan tegangan di sepanjang pantai barat Amerika Utara juga turut menurun, mengakibatkan pegunungan berhamburan dan pembentukan daerah “Basin and Range” seluas dua juta kilometer persegi yang menjadi ciri khas lanskap barat Amerika Utara masa kini.
mer/L-1

0 komentar: